Sabtu, 03 Desember 2011

CERPEN


       Sepak bola tampaknya merupakan hal yang sangat menyenangkan. Setidaknya itu yang aku dan teman-temanku rasakan. Hari itu, seperti biasa aku dan teman-temanku bermain sepakbola di halaman sebuah sekolah dasar yang lumayan luas. Untungnya halaman itu tidak di paving, sehingga kami selalu menggunakannya untuk bermain sepakbola, walaupun terkadang kami dimarahi oleh pemlik rumah dekat halaman SD itu yang tampaknya tidak nyaman dengan debu-debu yang beterbangan dan kegaduhan saat kami bermain bola. Selepas bermain, aku pun pulang ke rumah. Tak lama kemudian,temanku Hanafi datang. Ia memberitahuku bahwa nanti siang ada pertandingan sepakbola antara tim kotaku, yaitu PSMP melawan Persebaya, walaupun aku juga sudah mengetahuinya sejak kemarin. Ya. Hanafi memang selalu mengetahui jadwal dan hasil pertandingan-pertandingan sepakbola. Anak berpostur tinggi dan berkulit hitam ini memang supporter fanatik PSMP.
“Gimana, nanti siang ikut nggak?. Aku dan mas Wawan akan berangkat. Kalau mau kamu bisa barengan sama aku”. Tanya Hanafi.
“Ya, okelah….aku ikut deh!!!”. Jawabku.
       Sebenarnya aku lebih ingin berangkat bersama teman-temanku yang lain. Ya, tapi tak apalah, itung-itung supaya aku pernah barengan sama mereka.
“Janji ya, kamu nanti ikut?”. Tanya Hanafi lagi.
“Ya,ya!!!”. Jawabku singkat
       Dengan wajah girang dan penuh semangat Hanafi pun pulang. Dan setelah membereskan pekerjaan di rumah, aku pun pergi ke kost-kostannya Mas Wawan. Ya, Mas Wawan memang bukan asli anak sini. Dia adalah mahasiswa di salah satu universitas di Mojokerto. Dia adalah yang paling tua di kost-kostannya, sehingga aku biasa memanggilnya “Mbah”. Rambut keriting dan mata agak sipit membuatnya semakin lucu. Dengan keras aku mengetuk pintu dan tak lama kemudian pintu di buka.
“Gimana Mbah, nanti jadi nonton pertandingan nggak?”. Tanyaku dengan semangat
“Ya…. jadi dong!!!. Kamu sudah diberitahu sama Hanafi, kan?. Sahut Mbah
“Ya… sudah!!!. Jangan lupa nanti aku disusul ya!!!. perintah itu mengakhiri pertemuanku dengan Mas Wawan. Aku pun balik ke rumah, istirahat sejenak dan berharap bisa bangun siang nanti
       Kumandang adzan dzuhur pun membangunkanku. Setelah sholat aku bersiap-siap untuk berangkat. Ya, inilah saat yang ditunggu-tunggu. Dari dalam rumah aku mendengar deruman sepeda motor ratusan supporter yang melintasi jalan raya. Ya, dibelakang rumahku memang tepat jalan raya. Teriakan dari truk-truk yang berisi supporter dan deruman keras sepeda motor membuatku semakin tak sabar untuk segera berangkat. Dari dalam rumah juga aku melihat teman-temanku yang lain berangkat dengan ramainya. Akupun keluar rumah untuk menunggu kedatangan Hanafi dan mas Wawan. Jam dinding menunjukkan pukul 14.30 WIB dan Hanafi belum juga datang. Terbayang di pikiranku bagaimana serunya pertandingan nanti. Akhirnya yang kutunggu-tunggu datang juga. Segera aku naik ke sepeda motornya Mas Wawan. Dengan berboncengan tiga kami berangkat. Sementara suasana di atas sepeda motor Mas Wawan sangat tidak nyaman, ditambah lagi dengan asap mengepul dari rokok yang Mas Wawan hisap, tapi aku mencoba berdamai dengan keadaan. Maka kulihat semuanya dengan tenang. Teriakan supporter di jalan raya, dan kepulan asap rokok Mas Wawan yang menyesakkanku itu. Dan dari pengalaman seperti itu aku mengerti bahwa ketidaknyamanan dalam perjalanan tak perlu dikeluhkan karena tidak akan mengatasi keadaan.
       Selama kurang lebih 15 menit perjalanan yang menyiksa, akhirnya sampailah aku, Hanafi, dan Mas Wawan di stadion yang tampaknya sudah penuh sesak oleh para penonton.
       Begitu sepeda motor berhenti, akupun berdiri sejenak menyaksikan bagaimana keriuhan di sekitar stadion. Barisan serba merah yang merupakan seragam khas tim tuan rumah menyebar dimana-mana. Suara calo yang menawarkan tiket juga meramaikan suasana. Dan kami pun berjalan menuju seorang calo yang tampaknya dari tadi belum ada yang memakai jasanya. Mas Wawan membeli satu tiket untuk tiga orang. Aku dan teman-teman sengaja tidak masuk duluan karena memang pertandingannya belum dimulai. Dan kulihat juga barisan-barisan berseragam hijau muda, seragam khas Persebaya, juga berkumpul tak mau kalah dengan supporter tuan rumah. Dan bahkan jumlah mereka lebih banyak. Seketika itu pandanganku kulemparkan pada sekelompok supporter Persebaya. Mereka dengan kasar menjarah makanan salah seorang pedagang asongan tua. Seorang pemuda dari kelompok itu, yang kukira ia adalah ketua geng itu, melemparkan kata-kata kotor kepada pedagang itu. Tetapi, pedagang itu diam saja. Makanan di keranjangnya habis dijarah dan sedihnya, ia tak dapat uang sepeserpun dari sekelompok pemuda itu. Nampak kebodohan dan kepasrahan yang menyiratkan kemiskinan muncul di wajah pedagang malang itu. Ia tampaknya rela diperlakukan apa saja asal tidak dihajar oleh kelompok itu.
       Dengan cepat aku dan teman-teman pun menuju pintu masuk. Karena suasana sangat ramai sehingga dengan mudah aku bisa lolos dari pemeriksaan tiket. Aku, Hanafi, dan Mas Wawan pun duduk dengan tenang. Kulihat begitu ramainya suasana sore itu. Begitu banyaknya suporter tuan rumah, tapi lebih banyak suporter lawan. Aku duduk dengan kedua temanku itu yang dari tadi tak henti-hentinya makan krupuk yang baru mereka beli. Dari sebelah kiriku bertiup bau keringat melalui udara yang dialirkan dengan topi. Dan dari belakang terus-menerus mengepul asap rokok dari mulut seorang lelaki tanpa baju.
       Priit, kick off pun dimulai. Dukungan supporter semakin menjadi-jadi. Pertandingan berlangsung dengan sengit, tetapi tim lawan lebih mendominasi pertandingan sore itu. Dan tiba-tiba suasana mulai tak terkendali. Emosi para supporter pun tumpah. Dan aku pun tak tahu, apa yang menyebabkan suporter lawan tiba-tiba beringas. Mereka kemudian memasuki lapangan. Pertandingan pun dihentikan. Sementara supporter tuan rumah pun tak mau kalah. Merasa ini adalah kandang mereka, supporter PSMP yang menamai dirinya ‘’The Lasmojo’’ terlibat baku hantam dengan supporter Persebaya. Lapangan pun berubah bak medan perang. Bahkan pasukan keamanan yang diturunkan pun tak dapat berbuat banyak. Tak hanya di dalam stadion, supporter di luar stadion pun terlibat tawuran. Ya, memang banyak suporter dari kedua kesebelasan yang tidak dapat atau memang sengaja tidak masuk. Kulihat banyak batu-batu beterbangan. Arahnya dari luar stadion.
       Suasana yang begitu memanas membuatku dan Hanafi panik. Bagaimana tidak, banyak dari suporter yang terkena lemparan batu.
‘’Mbah, bagaimana ini ?’’. Tanya Hanafi dengan begitu panik
‘’Disini aja, ini pemandangan yang seru, jarang-jarang lihat tawuran seperti ini!!!’’. Jawab Mas Wawan.
‘’Akupun tertawa mendengar perkataan Mas Wawan. Di suasana seperti ini masih sempat-sempatnya dia bergurau. Dan memang tak tampak wajah ketakutan dan kepanikan dari Mas Wawan
‘’Mbah, keluar aja !!!’’. Perintahku kepada Mas Wawan.
‘’Ya, keluar aja. Biar aja Mas Wawan disini!!!’’. Sahut Hanafi.
       Aku dan Hanafi pun keluar dari stadion dan tampaknya Mas Wawan masih menikmati pemandangan tawuran di lapangan itu.
‘’Tunggu, tunggu!!!’’.
Kulihat Mas Wawan berlari dari belakang kami.
‘’Tunggu, hey!!!’’. Teriak Mas Wawan lagi.
Kami pura-pura tidak mendengarnya.
‘’Hei!!!’’. Kata Mas Wawan sambil menepuk bahuku.
‘’Kenapa, katanya lihat pemandangan?’’. Tanyaku.
‘’Iya, iya, aku minta maaf!’’. Jawab Mas Wawan.
‘’Sekarang gimana?’’. Tanya Hanafi.
‘’Gini aja, kita ambil motor kita!’’. Sahut Mas Wawan.
‘’Okelah!!!’’. Kata Hanafi.
       Kami bertiga keluar dari stadion dan kulihat suasana yang sama diluar. Segera kami berlari ke tempat parkir motor untuk mengambilnya.Namun tawuran semakin menjadi-jadi, hingga memacetkan jalan raya. Ketika akan menyalakan motor dan berniat pulang, tiba-tiba dari arah selatan muncul gerombolan supporter Persebaya yang mengejar kami. Karena panik, kami pun berlari ke arah utara sambil menuntun motor. Saat itulah yang paling seru. Antara senang dan juga takut. Kami pun berlari sekencang-kencangnya. Begitupun supporter yang lain. Sesampainya di depan musholla, segera kami berbelok dan masuk, sembunyi ke dalam musholla. Sementara Persebaya mengejar supporter yang lain.
       Akhirnya, setelah suasana cukup aman kami keluar dari musholla. Dengan tertawa satu sama lain kami beristirahat.
‘’Sekarang gimana?’’. Tanya Hanafi.
‘’Yoo, pulang aja!!!’’. Jawabku.
       Akhirnya aku, Hanafi, dan mas Wawan pulang. Mas Wawan memacu motornya dengan kencang, khawatir bila dikejar lagi karena di depan kami masih bergerombolan supporter Persebaya di sekitar stadion. Melintasi stadion, kulihat banyak batu-batu, kayu, sandal bekas tawuran yang berserakan di jalan raya. Dan akhirnya setelah perjalanan yang melelahkan kami sampai di rumah.
       Ya, dengan pengalaman itu, kutahu bahwa dalam menghadapi bahaya kita harus selalu bersama dan menjaga satu sama lain.

LEGENDA


ASAL MULA TERJADINYA DESA GAYAMAN
Pada zaman dahulu, ada sepasang suami istri yang bernama Mbah Wedono Bajing dan Mbah Buret. Sepasang suami istri ini adalah perantau. Mereka berdua merantau untuk menyebarkan agama Islam. Ketika itu, mereka berdua sampai di suatu tempat. Mereka menemukan sekelompok masyarakat non muslim dan mereka pun memutuskan untuk menetap di daerah itu. Tetapi, alangkah herannya mereka karena melihat kehidupan masyarakat daerah itu yang sangat kacau, penuh pertikaian, dan tak jarang pula terjadi pembunuhan. Oleh karena itu, mereka berdua mulai menyebarkan agama Islam kepada masyarakat daerah itu. Karena mereka yakin, bahwa ajaran agama Islam akan membawa kedamaian dan kemakmuran bagi masyarakat.
Namun upaya penyebaran agama Islam tidaklah semudah yang mereka bayangkan. Mereka mendapat cacian, makian, dan bahkan diancam akan diusir dari daerah itu. Karena masyarakat daerah itu sangat percaya pada keyakinan yang mereka anut, sehingga masyarakat sangat sulit untuk menerima ajaran baru. Tetapi, sepasang suami istri ini tidaklah menyerah, satu persatu pengikut mereka semakin banyak. Dan lambat laun, masyarakat pun memahami nilai-nilai persaudaraan dari ajaran Islam yng disebarkan oleh Mbah Wedono Bajing dan Mbah Buret. Oleh karena jasanya, masyarakat mengangkat Mbah Wedono Bajing dan Mbah Buret sebagai pemimpin di daerah itu.
Kepemimpinan Mbah Wedono Bajing dan Mbah Buret membuat kehidupan masyarakat di daerah itu semakin tentram, damai, dan “ayem”. Pada saat itu, di daerah tersebut juga banyak terdapat pohon Gayam yaitu sejenis pohon berkayu sangat keras yang bisa hidup bertahun-tahun. Buahnya keras dan terlindung oleh semacam sabut seperti sabut kelapa dan ukuran buahnya sebesar kepalan tangan anak kecil, serta bentuknya agak pipih. Bentuk buahnya seperti hati manusia dan rasanya seperti kacang. Pohon ini juga bisa hidup pada musim apapun dan pada tempat kurang air ataupun banyak air.
Sejak saat itulah, Mbah Wedono Bajing dan Mbah Buret beserta masyarakatnya menamai daerah itu “Gayaman” yang berasal dari kata “ayem” yang artinya tentram karena masyarakatnya hidup tentram dan kata “gayam” karena banyak terdapat pohon Gayam. Dengan harapan masyarakatnya akan hidup tentram dan memiliki filosofi seperti pohon Gayam. Saat ini pemakaman Mbah Wedono Bajing dan Mbah Buret terletak di tengah kebun jati di perbatasan antara desa Gayaman dengan desa Gebangmalang. Tetapi saat ini pohon Gayam di desa ini jumlahnya semakin berkurang, karena banyak lahan yang digunakan untuk rumah penduduk.